Olahraga padel sempat menjadi tren besar di Indonesia. Popularitasnya melonjak cepat sejak 2020 berkat promosi di media sosial dan dukungan dari komunitas ekspatriat serta figur publik. Dalam waktu singkat, puluhan lapangan padel dibangun di Jakarta, Bali, dan beberapa kota besar lainnya. Namun, di balik pertumbuhannya yang cepat, kini mulai terlihat tanda-tanda kejenuhan pasar.
Harga sewa yang tinggi, biaya perawatan yang mahal, serta minat masyarakat yang menurun membuat bisnis ini menghadapi tantangan berat. Fenomena padel terbukti sangat dipengaruhi oleh tren media sosial. Ketika popularitasnya menurun, lapangan-lapangan padel mulai sepi pengunjung. Pertanyaannya kini: apakah bisnis lapangan padel di Indonesia benar-benar berkelanjutan, atau hanya sekadar tren yang lewat begitu saja?
Contents
Analisis Biaya dan Tekanan Harga terhadap Permintaan
Membangun satu lapangan padel membutuhkan investasi yang besar. Biayanya meliputi pemasangan lantai khusus, dinding kaca, pencahayaan, hingga sistem drainase dan perawatan rutin. Karena itu, harga sewa lapangan padel tergolong premium, berkisar antara Rp250.000 hingga Rp500.000 per jam, tergantung lokasi dan fasilitas tambahan.
Tarif yang tinggi ini membuat padel sulit diakses oleh masyarakat umum dan lebih diminati oleh kalangan menengah ke atas atau perusahaan yang menyewa untuk kegiatan internal. Ketika minat pengguna kasual menurun, operator menghadapi tekanan besar untuk menutupi biaya tetap seperti listrik, staf, dan perawatan. Beberapa lapangan bahkan mulai menurunkan harga atau menawarkan paket keanggotaan agar tetap ramai.
Model Pendapatan dan Indikator Keberlanjutan
Untuk memahami daya tahan bisnis padel, kita bisa melihat model pendapatan dan risiko utama yang dihadapi operator. Berikut tabel yang menggambarkan sumber pemasukan, risiko, dan indikator ketahanan bisnis padel di Indonesia.
| Sumber Pendapatan | Contoh Pendapatan | Risiko Utama | Indikator Ketahanan |
| Sewa lapangan per jam | Rp250.000–Rp500.000/jam | Turunnya okupansi akibat tren mereda | Tingkat okupansi (%) |
| Keanggotaan & paket langganan | Bulanan/kuartalan | Membutuhkan pelanggan loyal | Retensi pelanggan |
| Sekolah & pelatihan padel | Rp1–2 juta/siswa/bulan | Tergantung kualitas pelatih | Jumlah siswa aktif |
| Event & turnamen | Variatif (per acara) | Musiman dan tidak stabil | Frekuensi event per tahun |
| F&B & sponsorship | 10–30% tambahan pendapatan | Butuh manajemen operasional ekstra | Margin pendapatan non-court |
Tabel ini menunjukkan bahwa lapangan padel yang hanya mengandalkan sewa per jam cenderung tidak bertahan lama. Model bisnis yang menggabungkan berbagai sumber pendapatan — seperti keanggotaan, sekolah, event, hingga kafe — memiliki peluang bertahan lebih tinggi. Biasanya, bisnis padel yang tidak melakukan diversifikasi mulai kesulitan menutup biaya operasional dalam 12–24 bulan pertama.
Pelajaran dari Pasar Internasional dan Strategi Bertahan
Kisah serupa terjadi di banyak negara lain seperti Spanyol, Swedia, dan Inggris. Setelah ledakan popularitas padel, banyak lapangan tutup karena tidak mampu mempertahankan basis pemain tetap. Namun, beberapa yang fokus pada pembinaan komunitas, pelatihan anak muda, dan kerja sama korporat justru berhasil bertahan.
Untuk konteks Indonesia, keberlanjutan bisnis lapangan padel dapat dicapai melalui beberapa strategi. Pertama, membangun komunitas pengguna aktif, misalnya dengan membuat klub dan turnamen rutin. Kedua, menerapkan sistem keanggotaan fleksibel agar pemain punya alasan untuk terus datang. Ketiga, diversifikasi layanan dengan membuka kafe, penyewaan alat, dan program pelatihan. Selain itu, operator juga perlu mengatur strategi harga yang adaptif, seperti promo jam sepi dan paket bulanan. Dengan strategi ini, peluang bertahan selama 3–5 tahun akan jauh lebih besar dibanding hanya mengandalkan tren viral.
FAQ (Frequently Asked Questions)
A1: Padel memang populer karena tren media sosial, namun masih memiliki potensi jangka panjang bila dikelola dengan strategi komunitas dan diversifikasi bisnis yang kuat.
A2: Dengan manajemen yang baik, bisnis padel bisa bertahan 3–5 tahun bahkan lebih. Tanpa diversifikasi dan komunitas aktif, banyak lapangan berisiko tutup dalam 12–36 bulan.
A3: Karena biaya pembangunan dan perawatannya tinggi. Lapisan lantai khusus, kaca pelindung, dan penerangan intensif menambah biaya operasional yang harus ditutup dari tarif sewa.






